v Sejarah perkebunan kelapa sawit di Indonesia
Kelapa sawit
didatangkan ke Indonesia (berasal dari Mauritius, Afrika) oleh pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun
Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai
tanaman hias di Deli, Sumatera
Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah
permintaan minyak nabati akibat Revolusi
Industri pada pertengahan abad ke-19.
Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan
tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli
Dura".
Pada tahun 1911, kelapa
sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya (Hindia
Belanda) Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu
diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai
Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha, Pusat
pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera
Utara dan di Rantau Panjang, Kuala
Selangor, Malaya pada
1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang
Tenmaran, Kuala Selangor dan menggunakan benih dura Deli dari Rantau
Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru
dimulai tahun 1910.
Hingga menjelang
pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia.
Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari
jumlah yang dihasilkan pada tahun 1940. Usaha peningkatan produksi pada masa
Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil
meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (Malaysia).
Baru semenjak era Orde Baru perluasan
areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem Perkebunan.
Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya
harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi
alternatif. Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor
hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan
kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.
Luas Areal perkebunan
sawit di Indonesia terus bertumbuh dengan pesat, demikian pula dengan produksi
dan ekspor minyak sawitnya. Luas areal tanaman kelapa sawit meningkat dari 290
ribu Ha pada tahun 1980 menjadi 5.9 juta hektar pada tahun 2006 atau meningkat
20 kali lipat, dan pada tahun inipun jumlah lahan perkebunan terus bertambah
luas. Dalam kurun waktu yang sama produksinya, berupa CPO (minyak kelapa sawit
mentah) dan CPKO (minyak inti sawit mentah), meningkat 17 kali lipat dari 0,85
juta ton menjadi 14,4 juta ton. Indonesia saat ini produsen minyak sawit (CPO)
terbesar, kemuadian Malaysia berada di urutan kedua. Pada saat ini Kelapa sawit
sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu
primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas
bagi Indonesia. Itulah sekelumit sejarah tentang perkebunan kelapa sawit di
Indonesia.
v Keuntungan perkebunan kelapa sawit
·
Keuntungan bagi
perekonomian Indonesia
Sebenarnya banyak
keuntungan yang bisa didapat dari perkebunan kelapa sawit khususnya bagi
perekonomian Indonesia. Diantaranya adalah menghasilkan devisa bagi negara kita
dengan nilai ekspornya yang tinggi, Kelapa sawit juga menyediakan jalan keluar
dari kemiskinan bagi negara berkembang dan rakyat miskin (Indonesia) dengan
tersedianya lapangan kerja. Pengembangan agribisnis kelapa sawit juga merupakan
salah satu langkah yang sangat diperlukan sebagai kegiatan pembangunan
subsektor perkebunan dalam rangka revitalisasi sektor pertanian. Mengembangkan
perkebunan yang efisien dan berkelanjutan seperti perkebunan kelapa sawit yang
berarti menyediakan sarana bagi pemilik perkebunan besar maupun kecil untuk
meningkatkan standar hidup mereka.
·
Keuntungan segi
finansial untuk pelaku usahanya
Kelapa Sawit bagi para
pelaku usahanya adalah tanaman yang mampu memberikan keuntungan besar dengan
nilai ekspornya yang tinggi. Maka mereka berusaha membuka perkebunan kelapa
sawit dimana-mana. Nilai ekspor yang dihasilkan memang tinggi, sehingga
pemerintah pun tergiur akan pembagian keuntungan yang didapat dari kelapa
sawit, sehingga banyak izin perusahaan perkebunan yang diloloskan tanpa
kejelasan yang pasti. Kelapa Sawit hanya menguntungkan Para pelaku usahanya, Memang
benar bahwa perkebunan kelapa sawit menyerap tenaga kerja untuk perkebunan,
memberikan devisa untuk negara tetapi di balik itu semua banyak pula
kontroversi yang ditimbulkan berupa hal-hal negatif. Keuntungan finasial memang
didapat dari hasil perkebunan kelapa sawit tersebut, tapi hal itu hanya berlaku
bagi para pelaku usahanya sedangkan bagi rakyat? Apa yang kita dapat ? devisa
yang belum tentu masuk ke kas negara? Ataukah upah buruh pabrik yang jauh dari
standarisasi?.
- Keuntungan
untuk masyarakat luas
Bagi masyarakat luas
banyak pula keuntungan yang didapatkan dari perkebunan kelapa sawit ini,
diantaranya adalah tersedianya lapangan pekerjaan bagi masyarakat luas. Selain
tersedianya lapangan pekerjaan, perkebunan kelapa sawit inipun membantu mengentaskan
kemiskinan di daerah-daerah terpencil dengan sumbangsih sosialnya untuk
masyarakat sekitar perkebunan, seperti : dibangunnya sekolah-sekolah dekat
areal perkebunan dan fasilitas sosial lainnya.
v Pengaruh buruk perkebunan kelapa sawit
·
Pengaruh perkebunan
kelapa sawit terhadap lingkungan masyarakat
Perkebunan kelapa sawit
juga berpengaruh buruk terhadap lingkungan masyarakat baik terhadap budaya
setempat ataupun masalah sosial lainnya. Masuknya perkebunan kelapa sawit ke
daerah-daerah terpencil akan mengubah sistem pertanian tradisional menjadi
sistem pertanian industri yang belum tentu membawa dampak positif bagi
masyarakat di daerah tersebut. Perkebunan kelapa sawit juga dapat menyebabkan hancurnya
tatanan adat dan kebiasaan hidup masyarakat adat, terciptanya kemiskinan
struktural, konflik tanah yang berkepanjangan (masalah kepemilikan tanah
perkebunan), dsb. Di Provinsi Maluku, kita diwarisi sistem budaya sasi, yakni
pelarangan mengambil hasil hutan atau hasil laut sebelum waktunya. Budaya
peninggalan para leluhur ini berlangsung sejak ratusan tahun lamanya. Budaya
sasi di hutan bisa dijalankan jika tanaman di hutan itu beraneka ragam.
Saat hutan di sulap menjadi perkebunan sawit maka secara otomatis yang tumbuh hanya satu jenis tanaman saja yakni kelapa sawit. Tentu saja, kondisi ini akan mengakibatkan perubahan hidup masyarakat dan budaya sasi kedepan terancam hilang. Generasi kita yang berikutnya akan semakin miskin budaya.
Saat hutan di sulap menjadi perkebunan sawit maka secara otomatis yang tumbuh hanya satu jenis tanaman saja yakni kelapa sawit. Tentu saja, kondisi ini akan mengakibatkan perubahan hidup masyarakat dan budaya sasi kedepan terancam hilang. Generasi kita yang berikutnya akan semakin miskin budaya.
Khusus di banyak
kampung di Sumatera dan Kalimantan, pembukaan lahan untuk perkebunan sawit juga
merusak berbagai tempat keramat seperti kuburan nenek-moyang mereka. Perkebunan
sawit juga berdampak buruk pada hak masyarakat adat atas tanah ulayat (warisan),
dan ini berpotensi menciptakan konflik di kemudian hari. Perusahaan sawit
memerlukan lahan yang luas untuk mendapat keuntungan besar. Di samping itu,
pemerintah daerah se-Indonesia merencanakan melakukan perluasan hingga 20 juta
hektar perkebunan kelapa sawit sebelum tahun 2020. Sebagian besar tanah yang dimaksud
untuk perluasan lahan itu adalah tanah yang dikuasai oleh masyarakat secara
pewarisan, hal ini tentu semakin memperparah keadaan menjadi semakin rumit
karna akan ada banyak permasalahan yang muncul.
·
Pengaruh
perkebunan kelapa sawit terhadap alam sekitar
Pada zaman yang seperti
ini seharusnya kita lebih bijak dalam pemanfaatan alam sekitar termasuk
pemanfaatan hutan tropis Indonesia. Produksi kelapa sawit telah dinyatakan
sebagai penyebab kerusakan terhadap lingkungan alam. Dampak yang timbul meliputi:
deforestasi (penurunan secara kualitas dan kuantitas sejumlah areal hutan),
hilangnya habitat dan spesies tertentu, dan peningkatan yang signifikan dalam
gas rumah kaca (emisi). Kondisi ini diperburuk karena banyak hutan di Indonesia
dan Malaysia berbaring di atas rawa gambut yang menyimpan sejumlah besar karbon
yang dilepaskan ketika hutan ditebang dan rawa dikeringkan untuk dijadikan
perkebunan kelapa sawit, tentu hal ini berakibat buruk untuk linkungan. Beberapa
ilmuwan juga mengeluarkan pernyataan bahwa perkebunan kelapa sawit melepas
lebih banyak karbon dibandingkan dengan hutan tropis alami. Bahkan, beberapa
penelitian terbaru menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit, jika dibangun di
daerah lahan gambut, menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca
dibandingkan dengan hutan alami. Jika penggunaan pupuk dan emisi dari proses
dimasukkan ke dalam perhitungan, dampak pada iklim dari pengubahan hutan alami untuk
kelapa sawit lebih besar lagi (mongabay.com).
Seperti kasus pada
tumbuhan apapun, pohon-pohon kelapa sawit memang membutuhkan karbon karena saat
mereka tumbuh (karbon adalah kebutuhan pertumbuhan dasar dalam jaringan
tumbuhan). Walau demikian, proses penggundulan hutan dalam rangka mendirikan
sebuah perkebunan melepaskan lebih banyak karbon dibandingkan yang akan
digunakan oleh kelapa sawit-kelapa sawit yang akan tumbuh. Jadi, sementara
sebuah perkebunan kelapa sawit baru akan tumbuh lebih cepat dan membutuhkan
karbon lebih tinggi, dan pada hitungan tahunan itu menjadi lebih buruk dibandingkan dengan
hutan alami yang terus beregenerasi.
Selanjutnya, praktek
konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ternyata
seringkali menjadi penyebab utama bencana kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam kegiatan pembukaan lahan (land clearing)
untuk membangun perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan cara membakar agar
cepat dan biayanya murah. Berbagai pemberitaan media masa dan hasil penelitian
lapangan menyebutkan bahwa sebagian besar kejadian kebakaran hutan dan lahan
berada di (berasal dari) lokasi pembangunan perkebunan kelapa sawit dan hutan
tanaman industri (HTI). Penyebab utama kebakaran hutan tersebut diidentifikasi
sebagai faktor kesengajaan oleh manusia (yang diperburuk oleh faktor alami,
yaitu terjadinya musim kering yang panjang akibat El-Nino), yaitu perusahaan
secara sengaja melakukan pembakaran, atau perusahaan perkebunan
"membayar" penduduk lokal untuk melakukan pembakaran dalam kegiatan
pembukaan lahan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit.
"orang utan yang ditemukan sudah mati diburu"
Selain merusak lingkungan
dengan emisi gas rumah kaca dan kebakaran hutan, perkebunan kelapa sawit juga merusak
habitat spesies lain diantaranya yang paling parah adalah spesies primata dari
pulau kalimantan yaitu orang utan yang kini terancam punah karna pengalihan
hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Dalam UU RI sudah di tetapkan bahwa
hewan langka seperti orang utan dilindungi oleh pemerintah dan tidak boleh
diburu, tapi nyatanya karna habitat mereka yang diambil alih oleh kelapa sawit
akhirnya mereka menjadikan perkebunan itu sebagai habitat baru dan karna itulah
para orang utan ini diburu dan dibunuh karna dianggap hama perusak kelapa
sawit. Hal-hal inilah yang memicu dilematika perkebunan kelapa sawit di
Indonesia di satu sisi banyak keuntungan yang didapat dari nilai jualnya yang
tinggi tapi banyak hal negatif yang harus didapatkan.
- Peran
pemerintah
Dalam meningkatkan
taraf hidup masyarakat secara keseluruhan, maka sangat dibutuhkan peran
pemerintah secara total, sudah merupakan Hak dari setiap warga negara untuk
mendapatkan penghidupan yang layak. Dalam kasus perkebunan (pembukaan) lahan
sawit ini, maka pemerintah harus benar-benar memperhatikan segala sesuatunya
secara detail agar tidak menjadi permasalahan baru dalam masyarakat di kemudian
hari.
skema insentif diterapkan oleh pemerintah agar mampu merangsang pengusaha untuk meningkatkan nilai tambah produk. Apalagi dengan ditetapkannya lima daerah sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) di daerah berbasis kelapa sawit. Dan pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mengembangkan industri kelapa sawit di setiap provinsi. Dan mampu menjaga harga kelapa sawit ditingkat dunia agar tetap stabil.
skema insentif diterapkan oleh pemerintah agar mampu merangsang pengusaha untuk meningkatkan nilai tambah produk. Apalagi dengan ditetapkannya lima daerah sebagai kawasan ekonomi khusus (KEK) di daerah berbasis kelapa sawit. Dan pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur untuk mengembangkan industri kelapa sawit di setiap provinsi. Dan mampu menjaga harga kelapa sawit ditingkat dunia agar tetap stabil.
Selain itu pemerintah
juga telah berusaha mengadakan beberapa penelitian untuk variates sawit yang
unggul dengan menciptakan Kebun Koleksi Nasional Sumber Daya Genetika (KKN-SDG).
Hal itu diharapkan mampu menciptakan bibit-bibit yang unggul yang berkualitas
tinggi untuk kelapa sawit, agar mampu bersaing dengan negara produsen sawit
lainnya seperti Malaysia tetapi tentu saja itu semua harus dibarengi dengan
memperhatikan aspek-aspek lainnnya seperti masyarakat sekitar dan juga
linkungan alam.
v Solusinya ?
Tidak dapat dipungkiri
bahwa peran industri perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia sangat
baik, dan para pengusahanya mendapatkan keuntungan besar. Disamping itu,
industri perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan lapangan kerja baru,
sementara permintaan dunia terhadap minyak nabati dan berbagai produk turunan
yang berasal dari minyak kelapa sawit semakin meningkat. Namun demikian, apakah
arti semuanya itu bila kehidupan kita terancam akibat semakin rusaknya hutan
alam Indonesia? Apakah berbagai kerugian yang terjadi (biaya lingkungan dan
biaya sosial yang timbul) dapat dibayar dengan keuntungan yang diperoleh?
Solusinya? Masalah yang kita hadapi
memang sangat pelik dan rumit, tetapi akan lebih baik pemerintah melakukan
konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit distop karena hal
itu merupakan salah satu sumber utama deforestasi hutan Indonesia yang
menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Selanjutnya, lahan
kritis atau lahan terlantar yang sudah tersedia dalam skala yang sangat luas,
sekitar 30 juta ha, perlu segera dimanfaatkan secara optimal dan harus
diprioritaskan untuk "dikonversi" (dirubah), termasuk diprioritaskan
untuk areal pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dengan demikian, lahan kritis atau
lahan terlantar tersebut dapat menjadi lahan yang produktif, dan dapat
menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi.
Selanjutnya, pemerintah
perlu memberikan sanksi yang tegas dan jelas terhadap pihak pelaku kegiatan
konversi hutan yang tidak bertanggung jawab, yang kemudian menelantarkan lahan
menjadi semak belukar atau lahan kritis baru. Sanksi yang tegas juga harus
diberikan kepada perusahaan pembuka lahan hutan dengan cara membakar. Disamping
itu, pemerintah juga harus tanggap dalam menyelesaikan konflik lahan antara
masyarakat dengan pihak perusahaan pemilik konversi lahan.
v Simpulan dan saran
Kelapa sawit sebagai
tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona
tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi
Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak
nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan
areal perkebunan kelapa sawit. Tetapi dibalik keuntungan finansial yang kita
dapatkan banyak dampak negatif yang harus kita terima juga mulai dari
lingkungan alam, masyarakat sekitar, dsb. Dan hal itulah yang menjadi
dilematika untuk perkebunan kelapa sawit, sekarang banyak LSM-LSM seperti GreenPeace
yang sudah memulai kampanye terhadap lingkungan khususnya dibidang kelapa
sawit. Bentuk nyata dari kampanye lingkungan itu sendiri ditunjukkan dengan
diprosesnya moratorium bagi hutan tropis di Indonesia (masih dalam proses).
Saran yang mungkin
ingin disampaikan adalah bahwa kita sebagai warga negara Indonesia berkewajiban
untuk selalu menjaga lingkungan kita dan pemerintah pun berkewajiban untuk
mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, aman, dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar