29 Sep 2011

[Artikel] Kain Gringsing: warisan leluhur yang bernilai seni tinggi



                Warisan budaya leluhur memang banyak ragamnya apalagi di Negara yang multikultur seperti Indonesia, setiap wilayah mempunyai ciri khas budaya dan warisan leluhur yang berbeda satu sama lainnya. Begitupun dengan Desa Tenganan, Bali yang merupakan Desa Bali Aga (keturunan Bali asli), yang sangat terkenal dari budaya daerah ini adalah Kain Gringsing yang sangat sakral. Kain Gringsing adalah satu-satunya kain tradisional Indonesia yang menggunakan teknik-teknik dobel Ikat yang pembuatannya mencapai 2-5 tahun, karna itulah harga kain ini meroket hingga puluhan juta rupiah. Kata Gringsing berasal dari kata ‘gring’ yang berarti sakit dan ‘sing’ yang berarti tidak dan digabungkan menjadi ‘tidak sakit’, maknanya seperti penolak bala karna itulah Kain Gringsing sangat sakral bagi warga Tenganan dan kain ini hanya digunakan upacara-upacara keagamaan seperti upacara potong gigi, pernikahan, Melasti Ke Segare, dll. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil juga menyatakan bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.
                Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus ditenun dengan keterampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang terlihat tegas. Proses pembuatan kain Gringsing seluruhnya dibuat dengan tangan dan bahan-bahannya pun hanya dapat diperoleh di kawasan Tenganan  saja.
                Tidak hanya proses penenunannya saja yang rumit tetapi proses pewarnaan kain inipun sama rumitnya. Kain Gringsing hanya menggunakan 3 warna alam dan bahan dasar dari alam, yaitu warna hitam, merah dan kuning dan ketiga warna ini didapatkan dari tiga proses pencelupan. Warna kuning berasal dari benang yang direndam dalam campuran minyak kemiri dalam air yang bercampur dengan abu, benang direndam setiap tiga hari sekali selama satu bulan tujuh hari. Buah kemiri didapatkan dengan  mudah di hutan Tenganan.
Warna hitam dengan cara benang direndam dalam endapan daun nila, kapur sirih, tape ketan dan pisang kayu yang direndam selama satu bulan awalnya benangnya kan berwarna biru tetapi karena proses alam juga berubah menjadi hitam. Untuk pewarnaan hitam ini tidak dikerjakan oleh orang Tenganan tetapi dilakukan orang Desa Bugbug, yang desanya berada di bagian timur Desa Tenganan. Sedangkan Warna merah berasal dari rendaman campuran kulit akar mengkudu dengan kulit batang kepundung, awalnya warnanya kuning tetapi akan berubah menjadi merah. Karna proses pembuatannya yang begitu sulit maka waktu untuk membuatnya pun semakin lama hingga mencapai beberapa tahun, tetapi kualitas yang didapatkan pun sebanding karna kain ini bisa tahan hingga ratusan tahun ini terbukti dari kain-kain yang dipakai warga Tengasan, rata-rata kain Gringsing yang mereka pakai sudah mencapai usia ratusan tahun.
                Motif kain Gringsing adalah motif yang diambil dari alam seperti tapak kaki ayam, bunga cempaka dan motif utama bentuk tanda tambah atau seperti bentuk swastika. 3 warna Gringsing melambangkan arti-arti yang khusus, merah melambangkan api atau energi dari alam, hitam melambangkan air, putih/kuning melambangkan udara. Dan bentuk tambah adalah lambang keseimbangan yang digambarkan dalam tubuh manusia. Apabila 3 unsur api, udara dan air tidak seimbang maka alam dan tubuh manusia akan mengalami kerusakan dan menjadi sakit.
                Pewarnaan dan proses pembuatannya yang masih tradisional dan dipertahankan itu membuat orang-orang takjub dan tertarik untuk memilikinya sehingga saat ini banyak kain Gringsing yang dijual di artshop daerah Bali, walaupun nilai kesakralannya menjadi berkurang tetapi nilai estetisnya perlu kita apresiasi.
                Motif-motif kain Gringsing banyak menggambarkan tentang arti keseimbangan antara manusia dan alam lingkungannya, hal ini  secara tidak lansung memperlihatkan bahwa leluhur kita sudah mengajarkan tentang kehidupan tidak hanya melalui tulisan tapi juga melalui gambar (motif kain). Itulah seni leluhur yang diwariskan kepada kita tidak hanya nilai estetisnya juga nilai kehidupannya. Kain Gringsing adalah salah satu warisan budaya yang harus kita jaga tidak hanya oleh orang Tenganan, Bali saja tetapi juga kita sebagai bangsa Indonesia.
Sumber: Berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar