16 Mei 2013

[Fiksi] Filosofi Semut-Gula

Tiba-tiba sist menghampiriku dengan wajahnya yang lusuh, aku meyakini dia sedang dalam mood yang buruk.

“hai sist, kau tak menyapaku beberapa waktu ini ... ada yang terjadi?” aku bertanya seakan-akan aku mengetahui apa yang terjadi dan akan dia katakan, seperti biasa memang sist hanya datang ketika dia membutuhkanku,  filosofi semut-gula kami.

tidak bob, sepertinya kau tidak ramah kali ini” dia menggeleng dengan enggan dan senyum getirnya.

“jangan bersandiwara denganku sist, atau menyembunyikan yang terjadi ... walau aku tidak ramah aku akan tetap mendengarmu dan menerimamu, trust me ... hari ini juga bukan hari yang mudah buat-ku”  aku mencoba tersenyum dan aku yakin yang aku ekspresikan malah seringai tajam.

coba hibur aku bob, kali ini saja” kali ini dia tersenyum mantap dan menatapku yakin.

“aku? Ehm, ayolah hanya ceritakan apa yang terjadi ... aku memang bukan penasehat yang baik seperti kamu, tapi aku jamin aku adalah pendengar yang baik” rajukku kemudian tak kalah mantapnya.

tak ada yang perlu aku ceritakan, hanya ingin ditemani untuk saat ini bob” dia hanya menatapku nanar.


“kau selalu seperti ini jika aku menanyakan yang terjadi ... kenapa kau tak mempercayai siapapun sist? Aku tau bahwa kau tidak pernah berbagi cerita dengan orang lain, hanya denganku betul kan?” aku menunjukkan wajah ingin tahuku dan mengalihkan topik pembicaraan.

who say? Aku sering bercengkrama dengan teman-temanku dan berbagi cerita” dia menghindari tatapanku kali ini.

“bukan cerita tentang kamu yang sebenarnya kan? About your feel sist... tentu bukan hal yang seperti itu yang kau ceritakan, aku tahu pasti itu” aku memberi penekanan pada kata-kata terakhirku.

bob, kau memang pendengar setia sekaligus pengamat yang cerdik” dia menyeringai sekali lagi, dan itu terlihat menakutkan bagiku.

well, memang aku tak pernah benar-benar bercerita about my feel. Kamu benar-benar ingin tahu bob? ... oke aku jujur untuk satu hal, aku punya masalah dengan kepercayaan dan sedikit trauma masa lalu” dia menerawang seakan dia berkelana ke pikirannya.

kau tau bob, manusia selalu bisa berpaling ... tentu tidak semuanya aku tau itu, tetapi jikapun tidak ada yang mungkin tidak bisa menerima seseorang dengan cerita yang kubawa, itu kemungkinan buruk yang selalu kuhindari selama ini” dia menatapku dengan sendu.

“lalu bagaimana denganku sist? aku bagian dari mereka juga kalau begitu” aku memasang kening mengerut, menandakan ketidak setujuanku.

ahh bob, kita ini orang yang sama bukan ? ... kita ini bagai simbiosis mutualisme, aku bercerita kamu mendengarkan, kamu bercerita aku mendengarkan itu filosofi semut-gula kita selama ini” dia mengelak dan tertawa  membuatku tertegun dengan karakternya.

“oke, filosofi semut-gula ? aku agak sedih mendengarnya sist ... kukira ikatan antara manusia begitu kuat tapi hanya sebatas semut-gula?” aku mengalihkan perhatianku pada pintu yang seakan-akan tergelak diantara kami.

                                                      

aku tau ada yang tak beres denganku, dengan apa yang ku yakini ... tapi hidup tetap berjalan bagaimanapun kau mengutuk-nya. Manusia dipenuhi dengan ketidak sempurnaan, jadi jika menyangkut “feel”  aku hanya akan berbagi dengan Tuhan-KU yang tidak akan pernah meninggalkanku bagaimanapun keadaanku, yang tidak akan pernah menutup pendengarannya, yang selalu mengulurkan kekuatan disaat-saat sulitku yang tak mungkin bisa mereka lakukan untukku” jeda sesaat, dengan tarikan nafas yang panjang dia mulai bicara kembali. “aku pernah suatu kali berbicara dan mereka tertawa, kau tau bagaimana rasanya? Ketika kau mengumpulkan kekuatan terbesarmu untuk berbagi rahasia dan kau ditertawakan. Sejak saat itu aku berikrar kepada diriku sendiri `just share my problem with my-God’ mungkin kau heran betapa aku lemah terhadap hal seperti itu, yang bahkan orang mungkin akan melupakannya hanya dalam hitungan hari ... tapi bagiku kepercayaan adalah hal penting yang tak kau bagi dengan begitu mudahnya, itu yang aku yakini bob” dia mengakhiri ceramah panjang lebarnya dengan wajah sumringah.

“terima kasih kau bahkan menceritakan hal seperti ini kepadaku, walau aku tetap heran dengan apa yang kau yakini tapi aku menghormatinya setiap orang memang punya prinsip yang harus mereka pegang teguh” aku berujar dengan bijaksana, (sama sekali bukan gayaku-)

aku lega, bahkan aku bisa membagi hal seperti ini denganmu”  tatapannya tajam dan lugas tapi lembut bagai anak kecil yang polos.

“aku juga selalu membawa masalahku kepadamu sist, kita memang patner mutualisme-sasi yang baik. Walau aku terkadang tak bisa selalu memberikan solusi, tapi aku masih menjadi pendengar yang bisa kau percaya” ucapku dengan mantap.

“selesai dengan prinsipmu, sekarang ceritakan apa yang terjadi sist? Tentu saja kau harus menyelesaikannya dengan tuntas...” aku mendelik dengan ekor mataku.

“bob, ternyata kau orang yang persistant” dia tertawa lagi dengan berbinar.

entahlah bob, tapi rasanya akhir-akhir ini terasa aneh bagiku ... semua hal datang padaku dengan tiba-tiba dan pada saat yang sama. Bukan hal yang luar biasa mungkin, Tuhan memang selalu punya jalan terbaik untuk kita dengan cara yang tak terduga bahkan dia memberikan kesempatan lain untukku sesederhana hari ini dimulai. Aku tadinya berencana menjadi kerikil di kehidupanku saat ini, cukup jadi batu pada masa lalu itu sudah membuatku  punya pengalaman berharga ... itu cukup tidak untuk kali ini, kerikil saja. Kau pasti mengerti bob” menghela nafas untuk kesekian kalinya.

“oww... panjang lebar sekali ceritamu kali ini, aku mengerti. Hanya jalani menurut kata hatimu, jangan memaksakan hal yang kau tak yakini ... itu hanya menyakitimu pada akhirnya” aku menutup kata dengan tegas dan mantap.

kau yang terbaik bob, ...” dia tersenyum dengan kata terakhirnya dan beranjak pergi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar